Menggigit
Peluru
Dalam
bahasa Inggris dikenal istilah "bitting the bullet" yang secara
harfiah dapat diterjemahkan sebagai "menggigit peluru". Idenya, saya
kira, berangkat dari suatu situasi ketika seseorang ditodong pistol dan dari
sekian banyak pilihan untuk mengelak ia memilih menerima tembakan tersebut
serta menangkap peluru yang meluncur dengan cara menggigitnya. Risiko tinggi,
dengan kemungkinan yang terburuk bisa saja terjadi, tapi intinya adalah
menghadapi tantangan dan mengatasinya.
Situasi
serupa dapat dijumpai sehari-hari dalam kehidupan bisnis dan profesional kita
--produk yang kita anggap senjata pamungkas ternyata gagal di pasar, kondisi
pasar yang buruk menuntut kita melakukan PHK, utang dagang sangat sulit
ditagih, investasi yang dilakukan menuntut injeksi dana padahal return ternyata
jauh di bawah harapan, aliansi yang lebih banyak mudarat dari manfaatnya, dan
sebagainya. Banyak situasi sulit semacam itu yang menuntut keputusan tepat,
baik dari segi substansi, cara maupun waktu.
Masalah
yang sering dihadapi adalah keengganan membuat keputusan seraya berharap
situasi buruk akan berlalu bersama waktu. Sesekali mungkin memang begitu, tapi
umumnya penundaan dapat berakibat makin buruk. Dan celakanya, kalau itu
terjadi, bukan kita lagi yang mengambil keputusan tersebut. Pasar atau orang
lain yang membuatnya, dan kita menjadi korban yang terlindas oleh keraguan diri
sendiri.
Bagi
seorang karyawan, situasinya bisa jadi serupa. Performance Evaluation yang tak
memberi harapan karier yang berlanjut, cara kerja yang tak sesuai keinginan
kita mengimbangi hidup, praktik-praktik bisnis yang tidak sesuai hati nurani,
misalnya, merupakan masukan yang perlu dipertimbangkan untuk pengambilan
keputusan karier, seperti menolak penugasan atau bahkan pengunduran diri.
"Menggigit
peluru" tidak berarti bunuh diri --kalau mau bunuh diri tidak usah
menggigit... diam saja bukan? Jadi, tersirat dalam ungkapan itu tidak saja
keberanian (courage) dalam mengambil keputusan, tetapi juga keterampilan atau
kemampuan mengatasi akibat keberanian tersebut. Termasuk di dalamnya keyakinan
diri bahwa kemampuan tersebut akan dapat dikerahkan untuk itu. Tidak seratus
persen yakin, tentu, karena kalau demikian persoalannya akan menjadi jauh lebih
sederhana.
Rasanya,
dalam situasi sosial, ekonomi dan politik yang masih tidak pasti, sepanjang
jangkauan pandangan mata seperti kita alami sekarang, agaknya makin diperlukan
sikap para pemimpin yang berani "menggigit peluru" semacam ini.
Laksamana Sukardi telah melakukannya dengan tidak menunjuk Samudra Sukardi
sebagai Direktur Utama Garuda. Keputusan yang sulit kalau sebenarnya Samudra
memang mampu. Persoalannya agaknya bukan di saat penunjukannya, tetapi dalam
melakukan Performance Evaluation di masa mendatang. Perusahaan dengan Good
Corporate Governance umumnya berusaha mencegah orang-orang dengan hubungan
keluarga dekat untuk memiliki hubungan kerja yang membutuhkan laporan langsung,
justru karena menghormati hubungan kekeluargaan yang umumnya dianggap memiliki
interaksi yang lebih akrab dari arms length, sangat lugas.
Dalam
proses menuju demokrasi, hal tersebut juga tampak dan terasa. Misalnya, dalam
keputusan tidak ikut campur. Proses hukum yang jadi wilayah yudikatif, karena
dirasakan bahwa proses tersebut masih mengalami transisi, sering dicampuri
lembaga legislatif. Wajarkah? Demikian juga proses-proses di wilayah eksekutif.
Euforia demokrasi atau sense of crisis keblabasan?
Sebenarnya,
diperlukan keberanian dan kecerdasan untuk tidak ikut campur. Karena, keputusan
semacam itu memberi pendidikan kepada masyarakat untuk memahami dengan lebih
benar keberadaan dan tanggung jawab masing-masing pilar demokrasi tersebut. Apa
yang dirasakan sebagai tuntutan menjadi pahlawan masyarakat dengan ikut
melibatkan diri dengan suatu proses yang dirasa lambat, mungkin dalam jangka
panjang malah merugikan. Kepercayaan masyarakat pada pilar-pilar yang harus
mengalami pendewasaan tersebut tidak juga akan kunjung tumbuh. Kita memerlukan
keberanian dan kemampuan menjaga konsekuensi suatu situasi, tanpa melibatkan diri
dalam proses yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Bukan lepas tangan, tetapi
tidak juga terjun langsung!
Rencana
Undang-Undang Penyiaran adalah kasus menarik. Dalam keluarga hal ini juga
kadang terjadi. Selagi pusing memikirkan uang sekolah, anak-anak kita ribut
terus. Agar kita bisa berpikir lebih baik, mereka kita larang mengemukakan
pendapat, berdebat, berbeda pendapat dan ribut. Juga dilarang belajar hal-hal
yang menyulitkan kita, karena dengan yang sekarang saja sudah sulit --masa
mereka minta sekolah di kota lain, apa tidak membuat makin pusing?
Di
sini kita juga perlu "menggigit peluru". Biarkan mereka tumbuh,
karena kalau kebebasan berpikir terpasung, mau jadi apa mereka dalam dunia yang
makin terbuka? Relakah bangsa kita tetap menjadi bangsa yang sangat tidak
asertif seperti yang dialami para pendahulunya? Lantas, apa konsekuensinya bagi
kita kini? Yah, kita memang perlu lebih bijak dan mampu mengatasinya.
Banyak
contoh lain yang dapat diangkat, dari sisi kita sebagai individu, karyawan profesional,
pemilik atau pengelola usaha, pengabdi masyarakat di jalur eksekutif,
legislatif, judikatif, kelompok, maupun sebagai bangsa. Pilihan-pilihan kita
kali ini bukan yang mudah, tetapi harus diambil bila ingin survive dan maju
lagi.
Saudara,
demi masa depan, marilah berlatih "menggigit peluru". Ini salah satu
cara menghadapi krisis... daripada hanya menggigit jari.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon